BERDIKARI – Gagasan mengenai pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih menuai pro dan kontra.
Gagasan tersebut kembali mencuat usai Presiden Prabowo Subianto menyinggung soal itu.
Ia menyinggung itu pada puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).
Sejumlah pihak mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru menimbulkan mudarat.
Seperti yang diungkap Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Ia mengungkap pelaksanaan pemilu tidak langsung atau lewat DPRD yang pernah terjadi di Indonesia, berlangsung curang dan mahal.
Praktik jual beli kursi demi meraup dukungan nyata terjadi, ketika kepala daerah masih dipilih oleh DPRD di era sebelum Reformasi.
Sebab, untuk dapat dicalonkan, seseorang tidak cukup hanya mengantongi dukungan partai politik, tetapi juga anggota dewan.
“Saudara masih ingat, sejak tahun 99, di mana pemilu belum serentak, pilkada belum serentak, lewat DPRD, itu jelas di situ jual beli kursi, agar orang bisa dapat dukungan, harga suara di DPRD (per kursinya) sebesar sekian,” kata Mahfud dalam diskusi bertajuk “Plus Minus Pilkada Oleh DPRD”, dilansir dari KOMPAS, Senin (23/12/2024).
“Misalnya ada satu calon kuat di satu daerah, mendapat dukungan partai, tapi kurang dukungan dari DPRD untuk bisa menang. Lalu beli ke orang, ‘kurang berapa sih kursinya?’. ‘Kurang empat’. Empat, Rp 20 miliar dibayar. Satu kursi bisa Rp 5 miliar,” tambahnya.
Hal ini yang kemudian memunculkan fenomena diborongnya kursi DPRD oleh partai politik.
Menurut Mahfud, semua partai melakukan praktik tersebut pada masa lampau.
“Semua partai. Bahkan dari …. (menyebut salah satu partai Islam) pun nerima uang saya tahu, karena lapor yang membayar itu, yang katanya bersih itu, sama pada saat itu. Pikirannya pokoknya uang,” katanya.
Meski pemilu sebelum Reformasi mahal, Mahfud menyebutkan, bukan berarti pemilu pada saat ini lebih murah.
Praktik jual beli suara, kata dia, masih terjadi.
Bedanya, calon sekarang membeli langsung suara tersebut dari masyarakat atau “diecer”.
“Maka lalu kita marah waktu itu, ‘kalau gitu kita lewat pilihan langsung’. Sesudah pilihan langsung, tambah jelek.
Kenapa? Karena kalau di dalam pilihan lewat DPRD itu belinya… Kalau yang sekarang ini kan eceran, pakai amplop-amplop gitu ke rakyat. Mahal sekali sekarang. Mahal banget,” imbuh Mahfud. (*)